Aksi Penenggelaman Illegal Fishing Oleh Kapal Asing
- Admin
- Berita
EKT, IPB – Kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti untuk menenggelamkan kapal illegal fishing perlu ditanggapi positif. Setelah beberapa lama, baru saat ini kementerian dibawah kepemimpinannya berani melakukan aksi tersebut dan mengeksposnya secara besar-besaran ke media. Hal ini memberikan dampak kepada beberapa negara yang memprotes aksi tersebut kepada pemerintah Indonesia dengan malu-malu. Mereka merasa bahwa Indonesia tidak berhak menenggelamkan kapal-kapal pelaku illegal fishing tersebut namun dari sisi lain mereka juga tidak mau mengakui telah membiarkan warganegaranya melakukan pencurian di negara lain.
Kebijakan penenggalaman pelaku illegal fishing memang patut dilakukan sebagai “terapi kejut”. Namun kebijakan ini perlu di backup dengan kebijakan lain, sehingga fokus penyelesaian illegal fishing bukan hanya pada aksi yang menjadi “hot news” sekarang ini. Penenggelaman kapal asing ini bukan tanpa masalah terhadap lingkungan perairan, sehingga harus dapat dipastikan telah “bersih”. Bersih yang dimaksud antara lain bahwa : 1) Ikan-ikan hasil curian yang berada dalam kapal tersebut sudah dipindahkan dari kapal, disita dan dilelang oleh negara. Pendapatan dari lelang ini untuk pendapatan negara, biaya operasional keamanan laut dan insentif para aparat keamanan yang melakukan penangkapan para pelaku illegal fishing; 2) Mesin, solar, oli dan bahan berbahaya lainnya sudah tidak ada di dalam kapal yang akan menimbulkan pencemaran laut; 3) Alat tangkap yang ada di dalam kapal sudah diangkat sehingga tidak menjadi masalah di dalam laut (alat tangkap menggunakan bahan yang sulit rusak, sehingga jika terlepas di dalam laut akan menjadi “ghost fishing” yang menimbulkan masalah baru seperti menutup terumbu karang, perangkap bagi penyu dan ikan).
Mengapa Illegal fishing oleh asing dapat terjadi ?
Illegal fishing terjadi karena stok ikan di suatu negara yang telah menurun sehingga produksi perikanan negara mereka juga semakin menurun namun permintaan terhadap ikan pada negara mereka semakin meningkat (hal ini karena mereka telah memiliki kontrak dagang dengan negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika yang harus dipenuhi jika tidak akan terkena penalti). Effort yang ada semakin menunjukkan produktifitas (CPUE = Catcth Per Unit Effort) perikanan negara mereka yang menurun. Dengan kondisi produktifitas perikanan negara yang semakin menurun maka pemerintah mereka memberikan subsidi untuk meningkatkan kapasitas penangkapan supaya dapat menangkap ikan lebih jauh. Sebagai pelaku perikanan yang memburu rente maka pelaku illegal fishing berusaha mencari stok perikanan yang masih banyak dan belum termanfaatkan oleh negara lain.
Illegal fishing menjadi fenomena yang marak terjadi di negara yang kaya akan sumberdaya ikan namun masih belum termanfaatkan dengan baik karena kapasitas perikanan yang masih rendah. Hal ini “memancing” para pelaku illegal fishing untuk masuk ke perairan Indonesia yang telah memiliki kapasitas perikanan yang besar. Kebijakan penenggelaman kapal illegal fishing tersebut seharusnya di dukung dengan kebijakan lainnya karena merupakan pendekatan reaktif dari puncak gunung es. Pemerintah sepertinya akan sibuk terus “menenggelamkan kapal” sebagai perspektif aksi yang reaktif dan responsif dari suatu kejadian pencurian ikan di perairan laut Indonesia.
Kegiatan menangkap dan menenggelamkan kapal pelaku illegal fishing membutuhkan effort yang cukup besar antara lain bahan bakar kapal patroli untuk berpatroli dan mengejar pelaku illegal fishing yang sangat banyak, membutuhkan waktu terus-menerus untuk pengawasan dan penindakan oleh badan keamanan laut, menggunakan peluru dengan kaliber besar atau peluru kendali yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, membutuhkan armada patroli dengan jumlah banyak jika para pelaku illegal fishing melakukan pencurian ikan dengan pola acak dan menyebar. Dalam istilah lain adalah “petugas kebakaran akan terus menerus memadamkan api tanpa antisipatif pencegahan kebakaran”.
Pencurian ikan oleh para pelaku illegal fishing merupakan kejadian yang telah lama berlangsung dan membentuk pola kejadian. Seharusnya pola kejadian ini dapat diadaptif sebagai kegiatan antisipasi dan menjadi prediksi terhadap kejadian pencurian ikan. Hubungan pencurian ikan ini berhubungan dengan sumberdaya perikanan itu sendiri.
Pertama adalah adanya stok ikan yang idle dan tidak termanfaatkan dengan baik oleh para pelaku perikanan lokal dan dalam negeri yang memiliki ijin. Hal ini disebabkan karena keterbatasan ukuran armada penangkapan dan jenis alat tangkap yang dimiliki. Armada lokal biasanya dibatasi oleh investasi, modal operasional dan keterampilan nelayan yang cukup tinggi untuk menangkap ikan dilaut lepas. Kedua, kejadian pencurian ikan selalu mengikuti pola pada jenis ikan ekonomis yang bernilai tinggi dan sebaran lokasi fishing groundjenis ikan tersebut. Ketiga, kejadian pencurian ikan selalu masuk pada perairan “kosong” yang tidak dilakukan pengawasan dan penindakan hukum yang “jelas”.
Dari pola kejadian disusun menjadi strukturisasi kejadian sehingga dapat digeneratif suatu kreasi desain dan solusi yang mengatasi illegal fishing dalam jangka panjang. Ada dua hal yang dapat digenerate yaitu ekonomi dan pengawasan. Pemikiran ekonomi yang digenerate bahwa stok ikan yang idle harus termanfaatkan oleh sebesar-besarnya nelayan lokal maupun nelayan nasional untuk kemakmuran bangsa Indonesia.
Menurut Kusumastanto (2014), nelayan lokal yang pertama kali harus diutamakan, karena mereka yang menjaga kelestarian laut dan mereka yang terkena dampak paling awal jika terjadi eksternalitas. Nelayan lokal diberi kesempatan seluas-luasnya untuk memanfaatkan perikanan sekitarnya sebagai property right yang jelas sebagai common property. Keterampilan dan kapasitas perikanan tangkap nelayan lokal diperbesar dengan bantuan bergulir pemerintah melalui wadah koperasi atau perkumpulan seperti nelayan di Jepang. Sebagai pengembalian investasi dan modal kepada pemerintah, maka koperasi iniyang akan melakukan manajemen dari setiap hasil tangkapan armada penangkapan. Hasil tangkapan ini harus didaratkan dipelabuhan dan dilelang secara transparan dan dibagi secara adil baik untuk bagian pengembalian modal dan bagian hasil untuk nelayan. Pendapatan nelayan melalui sistem bagi hasil yang adil sesuai dengan peran masing-masingdan pada akhirnya kapal menjadi milik kelompok jika sudah lunas. Jika nelayan lokal tidak dapat memanfaatkan seluruh wilayah yang menjadi property right-nya, maka dapat dilakukan instrumen ekonomi kepada nelayan nasional yaitu melalui quota maupun pajak. Ada dua quota yang dapat dijual kepada nelayan nasional yaitu quota input dan quota output. Quota input antara lain jumlah armada yang diijinkan menangkap di perairan yang menjadi property righttersebut dengan membayar pajak penangkapan.
Sedangkan quota output adalah memberikan ijin menangkap ikan dengan produksi tertentu pada kapal yang beroperasi di perairan yang menjadi property right masyarakat tersebut. Berdasarkan pengalaman dan teori, quota output akan menimbulkan dampak yaitu tingginya by catch dimana para nelayan nasional hanya akan membawa ikan yang memiliki harga jual tinggi dan membuang ke laut ikan-ikan yang bernilai rendah. Oleh karena itu, maka perlu diatasi dengan kebijakan mengenakan pajak yang lebih tinggi bagi ikan-ikan yang bernilai ekonomis tinggi dan demikian sebaliknya. Pengelolaan property right ini juga harus memberikan keuntungan semua pihak baik itu koperasi, pemerintah daerah, pemerintah pusat, badan keamanan laut dan tentu saja masyarakat. Sehingga manajemen pendapatan dari hasil pengelolaan common property ini juga melalui porsi yang telah disepakati sejak awal.
Pemikiran generatif kedua sebagai POKMASWAS (Kelompok Masyarakat Pengawas) yaitu armada perikanan tangkap nelayan lokal juga berfungsi menjadi pengawas, penjaga dan pemberi informasi kepada aparat sebagai eksekutor penindakan keamanan laut. Pada saat terjadi penangkapan kapal illegal fishing, kapal ini dapat disita oleh negara dan dilelang oleh koperasi untuk penangkapan ikan oleh kelompok nelayan. Hasil lelang penjualan kapal sitaan juga harus memberikan benefit baik pada aparat yang menangkap pelaku maupun kepada negara. Dalam hal ini, TNI AL tidak perlu setiap saat berpatroli mengawasi kapal-kapal pelaku illegal fishing yang beroperasi secara acak dan menghabiskan biaya yang cukup besar (tidak perlu menambah hutang ke PERTAMINA yang saat ini sebesar Rp. 6 trilyun untuk pengadaan BBM kapal). TNI AL cukup melakukan tugas keamanan laut untuk pengawasan dan penjagaan di daerah-daerah perairan perbatasan sebagai pintu keluar masuk kapal. Hasil pemikiran ini adalah penenggelaman kapal bukan solusi akhir namun solusi awal untuk melakukan kebijakan-kebijakan selanjutnya supaya kekayaan perikanan tangkap laut nasional dapat terus terjaga untuk kemakmuran bangsa Indonesia.
Aksi Penenggelaman Kapal Asing
Oleh : Benny Osta Nababan, S.Pi, M.Si
Email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Diterbitkan pada Koran Suara Karya, 28 Mei 2015
Penulis adalah dosen Departemen ESL-FEM, IPB dan Mahasiswa Doktor Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika, IPB.
Artikel asli versi cetak dapat didownload pada halaman 3 di :